Siapa pun yang beribadah kepada Allah karena motivasi kepentingan tertentu dengan harapan sesuatu dari-Nya, atau beribadah dalam rangka menolak bencana dari Allah, maka sesungguhnya ibadah orang tersebut (meskipun tidak salah) tapi belumlah berpijak dengan tepat sesuai dari sifat Allah itu sendiri.
Kenapa demikian?
Betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan mutlak (Lillaahi Ta’ala), tetapi masih demi yang lain, demi kepentingan duniawi, naiknya jabatan, sukses kariernya, mendapatkan jodoh, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa.
Apakah Allah Ta’ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi larangan-Nya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu seperti itu?
Bukankah kita beribadah karena kita memang harus melakukan ibadah dan menyambut dengan ikhlas (tanpa keinginan yang lain) sifat Rububiyah-Nya (sifat ke-Tuhan-an) melalui sifat Ubudiyah (sifat ke-Hamba-an) kita?
Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dari-Nya, bersama-Nya serta menuju kepada-Nya?
Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah serta larangan-Nya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka?
Bukankah Rasulullah SAW, mengkhabarkan :
“Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja”
Dalam kitab Zabur Allah berfirman :
“Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembah-Ku karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, Aku tidak pantas untuk ditaati?”
Suatu hari Syeikh Junaid Al-Baghdady dibangunkan oleh pamannya sekaligus gurunya, Syeikh Sary as-Saqathy, beginilah dialog diantara mereka :
“Ada apa paman?” kata syeikh Junaid,
“Aku bermimpi melihat seakan-akan aku dihadapkan pada Allah Azza wa Jalla dan kemudian terdengar jelas ditelingaku sebuah siuara yang mengatakan :
‘Wahai Sary, Aku menciptakan makhluk kemudian mereka merasa mencintai-Ku. Begitu Aku menciptakan dunia, mereka semua lari dari-Ku dan tinggalah sepuluh persen yang tersisa pada-Ku.’
‘Lalu Aku menciptakan syurga, sisa makhluk itu pun lari semua (ke syurga), tinggalah satu persen saja yang tersisa pada-Ku’.
‘Lalu Aku memberikan cobaan kepada mereka ini, mereka pun lari semua dari-Ku tinggal 0.1 persen yang tersisa pada-Ku. Aku bicara pada makhluk-Ku yang tersisa yang masih bersama-Ku itu,
“Bukan dunia yang kalian kehendaki, juga bukan syurga yang kalian inginkan, juga bukan neraka yang membuat kalian lari, lantas apa yang kalian mau?”
“Engkau lebih Tahu apa yang kami mau…” jawab mereka.
“Aku hendak menindihkan bencana cobaan pada kalian sebanyak nafas kalian, yang bisa menghancurkan gunung-gunung, apakah kalian masih bersabar?” Tanya-Ku pada mereka.
Dan mereka pun menjawab, “Manakala Engkau Sendiri Yang memberi cobaan, lakukanlah sekehendak-Mu….”
Maka mereka itulah hamba hamba-Ku yang sebenarnya.
Semua ini Insya Allah bisa jadi renungan bagi kita semua agar dalam setiap niat dan motivasi ibadah yang kita lakukan adalah senantiasa semata hanya menuju Allah, Lillahi Ta’ala.
Agar kita terbebas dari penjara kemakhlukan, dan menyatu dalam Musyahadah dengan-Nya. Ikhlas Lillahi Ta’ala adalah Ruh dari seluruh ibadah kita. Bukan yang lainnya. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
La Hawla Wala Quwwata Ilabillah
Tiada Daya Kekuatan Kecuali Dari Allah
Laa ma’buda illa allah
Tiada yang disembah kecuali Allah
Laa ma’suda illa allah
Tiada yang dituju kecuali Allah
Laa maujuda illa allah
Tiada yang maujud (berwujud) kecuali Allah
Ilahi, anta maksudi
Tuhanku, hanya engkau tujuanku,
Waridhokamathlubi
Dan hanya ridloMulah yang kucari,
A’tini mahabbataka wama’rifataka
Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku
Laa ilaha illa allah
Tiada Tuhan kecuali Allah
Allahu Allah
Allahu Allah…
Betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan mutlak (Lillaahi Ta’ala), tetapi masih demi yang lain, demi kepentingan duniawi, naiknya jabatan, sukses kariernya, mendapatkan jodoh, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa.
Apakah Allah Ta’ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi larangan-Nya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu seperti itu?
Bukankah kita beribadah karena kita memang harus melakukan ibadah dan menyambut dengan ikhlas (tanpa keinginan yang lain) sifat Rububiyah-Nya (sifat ke-Tuhan-an) melalui sifat Ubudiyah (sifat ke-Hamba-an) kita?
Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dari-Nya, bersama-Nya serta menuju kepada-Nya?
Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah serta larangan-Nya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka?
Bukankah Rasulullah SAW, mengkhabarkan :
“Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja”
Dalam kitab Zabur Allah berfirman :
“Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembah-Ku karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, Aku tidak pantas untuk ditaati?”
Suatu hari Syeikh Junaid Al-Baghdady dibangunkan oleh pamannya sekaligus gurunya, Syeikh Sary as-Saqathy, beginilah dialog diantara mereka :
“Ada apa paman?” kata syeikh Junaid,
“Aku bermimpi melihat seakan-akan aku dihadapkan pada Allah Azza wa Jalla dan kemudian terdengar jelas ditelingaku sebuah siuara yang mengatakan :
‘Wahai Sary, Aku menciptakan makhluk kemudian mereka merasa mencintai-Ku. Begitu Aku menciptakan dunia, mereka semua lari dari-Ku dan tinggalah sepuluh persen yang tersisa pada-Ku.’
‘Lalu Aku menciptakan syurga, sisa makhluk itu pun lari semua (ke syurga), tinggalah satu persen saja yang tersisa pada-Ku’.
‘Lalu Aku memberikan cobaan kepada mereka ini, mereka pun lari semua dari-Ku tinggal 0.1 persen yang tersisa pada-Ku. Aku bicara pada makhluk-Ku yang tersisa yang masih bersama-Ku itu,
“Bukan dunia yang kalian kehendaki, juga bukan syurga yang kalian inginkan, juga bukan neraka yang membuat kalian lari, lantas apa yang kalian mau?”
“Engkau lebih Tahu apa yang kami mau…” jawab mereka.
“Aku hendak menindihkan bencana cobaan pada kalian sebanyak nafas kalian, yang bisa menghancurkan gunung-gunung, apakah kalian masih bersabar?” Tanya-Ku pada mereka.
Dan mereka pun menjawab, “Manakala Engkau Sendiri Yang memberi cobaan, lakukanlah sekehendak-Mu….”
Maka mereka itulah hamba hamba-Ku yang sebenarnya.
Semua ini Insya Allah bisa jadi renungan bagi kita semua agar dalam setiap niat dan motivasi ibadah yang kita lakukan adalah senantiasa semata hanya menuju Allah, Lillahi Ta’ala.
Agar kita terbebas dari penjara kemakhlukan, dan menyatu dalam Musyahadah dengan-Nya. Ikhlas Lillahi Ta’ala adalah Ruh dari seluruh ibadah kita. Bukan yang lainnya. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
La Hawla Wala Quwwata Ilabillah
Tiada Daya Kekuatan Kecuali Dari Allah
Laa ma’buda illa allah
Tiada yang disembah kecuali Allah
Laa ma’suda illa allah
Tiada yang dituju kecuali Allah
Laa maujuda illa allah
Tiada yang maujud (berwujud) kecuali Allah
Ilahi, anta maksudi
Tuhanku, hanya engkau tujuanku,
Waridhokamathlubi
Dan hanya ridloMulah yang kucari,
A’tini mahabbataka wama’rifataka
Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku
Laa ilaha illa allah
Tiada Tuhan kecuali Allah
Allahu Allah
Allahu Allah…
source: http://sendy-master.blog.friendster.com/2008/10/arti-ikhlas-lillahi-ta%E2%80%99ala-yg-tertinggi/
No comments:
Post a Comment