27 Feb 2007
Dr. Yusuf al Qardhawi
Imam al Ghazali berkata:
Telah kami katakan sebelumnya bahawa taubat adalah suatu penyesalan yang membawa kepada tekad dan keinginan kuat untuk tidak melakukan dosa lagi. Dan penyesalan itu dihasilkan oleh ilmu atau pengetahuan bahawa kemaksiatan yang ia lakukan itu menjadi penghalang antara dia dengan yang dicintainya. Dan seluruh pengetahuan, penyesalan dan tekad itu harus terus dipertahankan dan dengan sempurna pula. Tentang kesempurnaan dan kontinuitinya itu ada tanda-tandanya. Oleh kerana itu harus dijelaskan.
Sedangkan ilmu pengatahuan itu, didapatkan dengan memperhatikan sebab taubat yang akan kami jelaskan nanti.
Penyesalan adalah sesuatu yang menyakitkan hati ketika menyedari kehilangan yang ia senangi. Tanda-tandanya adalah terus merasa menyesal dan sedih, air mata berlinang dan terus menangis dan merenung. Jika suatu ketika ia mendengar hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada anaknya atau salah seorang yang ia cintai, nescaya ia akan merasakan kepedihan dan tangis yang mendalam. Kemudian, siapa lagi yang lebih ia cintai selain dirinya sendiri? Dan hukuman apa lagi yang lebih berat dari neraka? Tanda apa lagi yang lebih menunjukkan akan turunnya hukuman itu selain kemaksiatan yang ia lakukan? Serta siapa lagi yang lebih benar dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam memberikan berita? Jika seorang doktor memberitahukannya: bahawa penyakit anaknya adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan ia akan mati kerana sakitnya itu, tentunya ia akan segera merasakan kesedihan yang sangat. Walaupun anaknya itu tidak ia cintai lebih dari dirinya sendiri. Dan tidak ada doktor yang lebih tahu dan ahli dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Serta kematianpun tidak lebih pedih dari neraka. Juga sakit itu tidak lebih sah menunjukkan akan kematian daripada kemaksiatan yang menunjukkan kemurkaan Allah SWT, dan yang akan menyeretnya ke neraka. Penyesalan itu, selama dirasakan lebih keras, maka dosanya itu lebih mempunyai harapan untuk diampuni. Tanda kesungguhan penyesalan itu adalah: hati yang menjadi peka, serta air mata yang deras mengalir. Dalam atsar disebutkan:
“Bertemanlah dengan orang-orang yang suka bertaubat, kerana mereka mempunyai hati yang paling halus”.
Dan di antara tanda-tandanya adalah: kepedihan dosa itu menempati perasaan kenikmatan melaksanakan dosa dalam hati. Sehingga kecenderungan untuk bermaksiat itu akan menjadi kebencian terhadapnya, serta keinginan itu menjadi penghindaran. Dalam Israiliat dikatakan: bahwa Allah SWT berfirman kepada sebahagian nabi-Nya. Ia meminta kepada Allah SWT untuk mengabulkan taubat seorang hamba, setelah ia selama beberapa tahun beribadah dengan khusyu’, namun taubatnya tak kunjung diterima. Dan Allah SWT berfirman: “Demi kemuliaan dan Keagungan-Ku, meskipun seluruh penghuni langit dan bumi meminta agar Aku terima taubatnya, nescaya tidak akan Aku penuhi, selama perasaan kenikmatan melakukan dosa dalam hatinya masih bersemayam.” Sedangkan keinginan yang timbul darinya itu, adalah keinginan untuk menebus apa yang telah ia langgar. Dan ia mempunyai hubungan dengan keadaan saat ini, yaitu ia harus meninggalkan seluruhnya apa yang dilarang yang masih ia lakukan, serta melakukan seluruh kewajiban yang menjadi kewajibannya, secepatnya. Ia juga mempunyai kaitan dengan masa lalu, yaitu menebus apa yang telah ia langgar. Sedangkan bagi masa depannya, ia harus dalam ketaatan, serta selalu meninggalkan kemaksiatan hingga akhir hayatnya.
Menyelesaikan Hak-hak Allah SWT
Syarat keabsahan taubat yang berkaitan dengan masa lalu adalah: agar ia melayangkan pandangannya kembali ke masa lalunya, pada hari pertama ia mencapai usia baligh, kemudian ia meneliti masa-masa lalu dari usianya itu tahun pertahun, bulan perbulan, hari perhari dan setiap tarikan nafas yang telah ia lakukan. Kemudian ia melihat ketaatan yang menjadi kewajibannya: apa yang tidak ia kerjakan? Kemudian kepada kemaksiatan: apa yang telah ia lakukan dari kemaksiatan itu?
Jika ia pernah meninggalkan solat atau tidak melengkapi suatu syarat keabsahan shalat itu, hendaklah ia mengqadha shalatnya itu. Dan jika ia ragu bilangan solat yang telah ia tinggalkan, maka ia dapat menghitung dari masa balighnya, kemudian menghitung yang yang telah ia tunaikan, dan mengqadha sisa solat yang pernah ia tinggalkan. Dalam hal ini hendaknya ia mengambil prasangka kuatnya. Dan itu dapat dicapai dengan betul-betul meneliti secara serius.
Sedangkan puasa, jika ia telah meninggalkan puasa itu dalam perjalanan atau saat ia sakit. Atau jika perempuan, ia membatalkan puasanya kerana mengalami haidh (atau nifas) dan belum ia tunaikan, maka hendaknya ia menghitung jumlah yang telah ia tinggalkan itu dengan betul-betul, kemudian mengqadhanya. Tentang zakat, hendaknya ia menghitung seluruh hartanya dan bilangan tahun dia mulai memiliki harta itu — tidak dari masa balighnya, kerana zakat itu telah wajib semenjak dimilikinya harta itu, meskipun orang itu adalah seorang bayi [Ini adalah pendapat jumhur imam-imam dan ini pula yang aku rajihkan dalam kitabku: Fiqhu Zakat.] — kemudian ia menunaikan apa yang ia yakini sebagai kewajibannya.
Sedangkan masalah haji, jika ia pernah memiliki kemampuan untuk menunaikan haji itu dalam beberapa tahun yang lalu, namun saat itu ia tidak mengerjakannya, sedangkan saat ini ia tidak memiliki harta yang cukup, maka ia tetap harus mengerjakannya. Jika ia tidak mampu kerana hartanya memang sudah habis, maka harus mengusahakannya dengan usaha yang halal sekadar biaya haji itu. Jika ia tidak memiliki pekerjaan, juga harta, maka ia hendaknya meminta kepada manusia agar memberikan dari zakat atau sedekah sehingga ia dapat menunaikan haji. Dan jika ia mati sebelum melaksanakan haji maka ia mati dalam keadaan maksiat. Kerana ketidakmampuan yang datang setelah adanya kemampuan untuk haji itu, tidak menghapus kewajiban haji baginya. Inilah cara ia meneliti kewajiban yang menjadi tugasnya serta bagaimana menebusnya.
Tentang kemaksiatan, ia harus meneliti dari awal balighnya: kemaksiatan apa yang dilakukan oleh pendengarannya, matanya, lidahnya, perutnya, tangannya, kakinya, kemaluannya, dan seluruh anggota badannya. Kemudian ia teliti seluruh jam dan waktu-waktu yang telah ia lewati, kemudian ia menguraikan secara terperinci kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Baik yang kecil maupun yang besar.
Kemudian di antara kemaksiatan yang dia lakukan itu, ia menelitinya kembali; jika kemaksiatan yang ia lakukan itu adalah antara dia dan Allah SWT saja serta tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia, seperti melihat wanita bukan mahram, duduk di masjid dalam keadaan junub, menyentuh mushaf tidak dengan wudhu, beri’tiqad dengan i’tiqad bid’ah, meminum khamar, mendengarkan perkataan yang buruk dan lainnya yang tidak berkaitan dengan kezaliman kepada manusia;
Taubat untuk kemaksiatan ini adalah dengan menyesal dan merasa rugi atas perbuatannya itu, dan dengan mengukur kadar kebesaran dan masa yang telah ia lakukan, kemudian ia melakukan bagi setiap kemaksiatan itu suatu kebaikan yang setaraf dengannya. Dan ia melakukan kebaikan itu sesuai dengan jumlah kemaksiatan yang telah ia lakukan. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
“Bertaqwalah kepada Allah SWT di manapun engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk (dosa) dengan perbuatan yang baik nescaya ia akan menghapusnya” [Hadis diriwayatkan oleh Tirmizi dari Abi Dzar dan ia mensahihkannya dan sebelumnya hadis ini telah disebut.]
Juga firman Allah SWT :
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” [QS. Huud: 114.].
Dosa mendengar sesuatu yang haram, dapat dihapuskan dengan mendengarkan al Qur’an dan majlis zikir. Dosa duduk di masjid dalam keadaan junub dihapuskan dengan beri’tikaf di dalamnya sambil beribadah. Dosa menyentuh mushaf dengn tanpa wudhu ditebus dengan memuliakan mushaf dan banyak membacanya. Juga dengan menulis mushaf dan memberikan wakaf mushaf. Dosa meminum khamar ditebus dengan bersedekah minuman yang halal yang lebih baik dan lebih ia sukai.
Menyebutkan seluruh kemaksiatan adalah tidak mungkin di sini. Namun yang dimaksud adalah mengerjakan kebaikan yang sebaliknya dengan dosa itu. Kerana suatu sakit diubati dengan lawannya. Dan suatu kegelapan yang bersarang dalam hati kerana kemaksiatan yang ia kerjakan tidak dapat dihapus kecuali oleh cahaya yang naik ke hati itu dengan kebaikan yang sebaliknya. Dan yang sebaliknya itu adalah lawan yang sejajar keburukan itu. Oleh kerana itu, setiap keburukan harus dihapuskan dengan kebaikan yang sejenisnya, namun yang sebaliknya.
Kerana sesuatu yang putih dihilangkan dengan warna hitam, bukan dengan dingin atau panas. Cara seperti ini, jika dilaksanakan dengan tekun untuk menghapus dosa, maka akan mempunyai kesempatan besar untuk berhasil. Dibandingkan hanya menekuni satu macam bentuk ibadah tertentu, meskipun itu juga dapat turut menghapus dosamya. Ini adalah hukum antara dia dengan Allah SWT. Sebagai dalil bahwa sesuatu dihapuskan dengan lawannya adalah: cinta dunia adalah pangkal seluruh kesalahan. Dan pengaruh cinta dunia dalam hati adalah: menyenangi dunia itu serta merindukannya. Maka tidak aneh jika suatu kesulitan yang membebani seorang muslim sehingga hatinya membenci dunia, menjadi kaffarat (penghapus) cinta dunia itu. Kerana dengan kesulitan dan kesusahan itu hatinya akan menjauh dari dunia.